Senin, 24 Mei 2010

Peran dan Tugas Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pendidik dan tenaga kependidikan adalah dua “profesi” yang sangat berkaitan erat dengan dunia pendidikan, sekalipun lingkup keduanya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pengertian keduanya yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sementara Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari definisi di atas jelas bahwa tenaga kependidikan memiliki lingkup “profesi” yang lebih luas, yang juga mencakup di dalamnya tenaga pendidik. Pustakawan, staf administrasi, staf pusat sumber belajar. Kepala sekolah adalah diantara kelompok “profesi” yang masuk dalam kategori sebagai tenaga kependidikan. Sementara mereka yang disebut pendidik adalah orang-orang yang dalam melaksanakan tugasnya akan berhadapan dan berinteraksi langsung dengan para peserta didiknya dalam suatu proses yang sistematis, terencana, dan bertujuan. Penggunaan istilah dalam kelompok pendidik tentu disesuaikan dengan lingkup lingkungan tempat tugasnya masing-masing. Guru dan dosen, misalnya, adalah sebutan tenaga pendidik yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi.
Hubungan antara pendidik dan tenaga kependidikan dapat digambarkan dalam bentuk spektrum tenaga kependidikan berikut: (Miarso, 1994)
Dari gambar di atas, tampak sekalipun pendidik (guru) yang akan berhadapan langsung dengan para peserta didik, namun ia tetap memerlukan dukungan dari para tenaga kependidikan lainnya, sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Karena pendidik akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya apabila berada dalam konteks yang hampa, tidak ada aturan yang jelas, tidak didukung sarana prasarana yang memadai, tidak dilengkapi dengan pelayanan dan sarana perpustakaan serta sumber belajar lain yang mendukung. Karena itulah pendidik dan tenaga kependidikan memiliki peran dan posisi yang sama penting dalam konteks penyelenggaraan pendidikan (pembelajaran). Karena itu pula, pada dasarnya baik pendidik maupun tenaga kependidikan memiliki peran dan tugas yang sama yaitu melaksanakan berbagai aktivitas yang berujung pada terciptanya kemudahan dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Hal ini telah dipertegas dalam Pasal 39 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menyatakan bahwa (1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, dan (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Mencermati tugas yang digariskan oleh Undang-undang di atas khususnya untuk pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan sekolah, jelas bahwa ujung dari pelaksaan tugas adalah terjadinya suatu proses pembelajaran yang berhasil. Segala aktifitas yang dilakukan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan harus mengarah pada keberhasilan pembelajaran yang dialami oleh para peserta didiknya. Berbagai bentuk pelayanan administrasi yang dilakukan oleh para administratur dilaksanakan dalam rangka menunjang kelancaran proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru; proses pengelolaan dan pengembangan serta pelayanan-pelayanan teknis lainnya yang dilakukan oleh para manajer sekolah juga harus mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas dan efektif. Lebih lagi para pendidik (guru), mereka harus mampu merancang dan melaksanakan proses pembelajaran dengan melibatkan berbagai komponen yang akan terlibat dalamnya. Sungguh suatu tugas yang sangat berat.
Ruang lingkup tugas yang luas menuntut para pendidik dan tenaga kependidikan untuk mampu melaksanakan aktifitasnya secara sistematis dan sistemik. Karena itu tidak heran kalau ada tuntutan akan kompetensi yang jelas dan tegas yang dipersyaratkan bagi para pendidik, semata-mata agar mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik jelas telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (1), (4), dan (5) PP No. 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

PerMen No 41 Tahun 2009 Tentang PROFESI GURU DAN DOSEN, TUNJANGAN KHUSUS GURU DAN DOSEN, SERTA TUNJANGAN KEHORMATAN PROFESOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2009
TENTANG
TUNJANGAN PROFESI GURU DAN DOSEN, TUNJANGAN KHUSUS GURU
DAN DOSEN, SERTA TUNJANGAN KEHORMATAN PROFESOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16, Pasal 18, Pasal 53, Pasal 55, dan Pasal 56 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan/atau memiliki jabatan akademik profesor dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perlu diberi tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan;
b. bahwa besaran dan waktu pemberian tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan profesor perlu diatur;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah sebelas kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 21);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5007);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TUNJANGAN PROFESI GURU DAN DOSEN, TUNJANGAN KHUSUS GURU DAN DOSEN, SERTA TUNJANGAN KEHORMATAN PROFESOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
3. Profesor adalah jabatan fungsional tertinggi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
4. Tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.
5. Tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru dan dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.
6. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
7. Tunjangan Kehormatan adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki jabatan akademik profesor.
8. Departemen adalah departemen yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
9. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
10. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

Pasal 2

Peraturan Pemerintah ini mengatur:
a. Tunjangan profesi bagi guru dan dosen;
b. Tunjangan khusus bagi guru dan dosen;
c. Tunjangan kehormatan bagi dosen yang memiliki jabatan akademik profesor.

BAB II
TUNJANGAN PROFESI

Pasal 3

(1) Guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan diberi tunjangan profesi setiap bulan.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada guru dan dosen pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil.

Pasal 4

Tunjangan profesi bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan fungsional guru dan dosen diberikan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Pasal 5

(1) Tunjangan profesi bagi guru dan dosen bukan pegawai negeri sipil diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 6

(1) Kesetaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi guru dan dosen bukan pegawai negeri sipil ditetapkan oleh Menteri atau Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri atau Menteri Agama dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat lain di lingkungannya.

Pasal 7

Tunjangan profesi bagi guru diberikan terhitung mulai bulan Januari tahun berikutnya setelah yang bersangkutan mendapat Nomor Registrasi Guru dari Departemen.

Pasal 8

Tunjangan profesi bagi dosen diberikan terhitung mulai bulan Januari tahun berikutnya setelah yang bersangkutan mendapat sertifikat pendidik yang telah diberi Nomor Registrasi Dosen dari Departemen.

Pasal 9

Pemberian tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dihentikan apabila guru atau dosen tidak lagi memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
BAB III
TUNJANGAN KHUSUS

Pasal 10

(1) Guru dan dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus sesuai ketentuan peraturan perundang undangan diberi tunjangan khusus setiap bulan selama masa penugasan.
(2) Tunjangan khusus bagi guru dan dosen diberikan setelah yang bersangkutan secara nyata melaksanakan tugas di daerah khusus.
(3) uota bagi guru dan dosen yang memperoleh tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya.
(4) etentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 11

Tunjangan khusus bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan fungsional guru dan dosen diberikan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Pasal 12

(1) Tunjangan khusus bagi guru dan dosen bukan pegawai negeri sipil diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 13

(1) Kesetaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 bagi guru dan dosen bukan pegawai negeri sipil ditetapkan oleh Menteri atau Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri atau Menteri Agama dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat lain di lingkungannya.

BAB IV
TUNJANGAN KEHORMATAN

Pasal 14

Dosen yang memiliki jabatan akademik profesor dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan diberi tunjangan kehormatan setiap bulan.
Pasal 15

Tunjangan kehormatan bagi profesor pegawai negeri sipil diberikan sebesar 2 (dua) kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Pasal 16

(1) Tunjangan kehormatan bagi profesor bukan pegawai negeri sipil diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi profesor pegawai negeri sipil.
(2) etentuan lebih lanjut mengenai kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 17

(1) Kesetaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 bagi profesor bukan pegawai negeri sipil ditetapkan oleh Menteri atau Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri atau Menteri Agama dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat lain di lingkungannya.

Pasal 18

Tunjangan kehormatan diberikan terhitung mulai bulan Januari tahun berikutnya setelah yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

Pasal 19

Pemberian tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihentikan apabila dosen yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

BAB V
PENGANGGARAN DAN PEMBAYARAN

Pasal 20

(1) Tunjangan profesi dan tunjangan khusus bagi guru baik pegawai negeri sipil maupun bukan pegawai negeri sipil, dianggarkan dalam anggaran Pemerintah dan/atau anggaran pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Tunjangan profesi dan tunjangan khusus bagi dosen serta tunjangan kehormatan bagi dosen baik pegawai negeri sipil maupun bukan pegawai negeri sipil dianggarkan dalam anggaran Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21

Pelaksanaan pembayaran tunjangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri Keuangan.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 22

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Tunjangan profesi bagi guru di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang lulus sertifikasi pendidik kuota sebelum tahun 2008 dibayarkan terhitung mulai tanggal ditetapkan oleh Menteri atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri.
b. Tunjangan profesi bagi guru dan dosen di lingkungan Departemen Agama yang memperoleh sertifikat pendidik sebelum tahun 2008 dibayarkan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2008.
c. Tunjangan kehormatan bagi dosen yang memiliki jabatan akademik profesor sebelum tahun 2009 dibayarkan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009.

Pasal 23

(1)Tunjangan khusus atau bantuan kesejahteraan bagi guru dan dosen di daerah khusus yang dibebankan pada anggaran Pemerintah yang telah dibayarkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini bersifat final.
(2)Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pembayaran tunjangan khusus atau bantuan kesejahteraan bagi guru dan dosen di daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan.

Pasal 24

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 85

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2009
TENTANG
TUNJANGAN PROFESI GURU DAN DOSEN, TUNJANGAN KHUSUS GURU
DAN DOSEN, SERTA TUNJANGAN KEHORMATAN PROFESOR

I. UMUM

Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengatur bahwa guru dan dosen berkedudukan sebagai tenaga profesional yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru dan dosen berhak atas tunjangan profesi yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Tunjangan profesi tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Selain memperoleh tunjangan profesi, guru dan dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah di daerah khusus berhak atas tunjangan khusus. Tunjangan khusus merupakan tunjangan yang diberikan kepada guru atau dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus. Selanjutnya, Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga mengatur mengenai pemberian tunjangan kehormatan bagi dosen yang memiliki jabatan akademik profesor.
Untuk melaksanakan amanat Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor.
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi besaran dan waktu pemberian tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.

Manajemen Berbasis Sekolah

Pengertian MBS
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Jadi, dengan kata lain MBS merupakan upaya untuk memandirikan sekolah. Selain itu orang –orang yang di beri kewenangan untuk me-manage kegiatan persekolahan (kepala sekolah, guru) tidak lagi terkenkang dan kurang berinovasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini karena dengan adanya MBS Kepsek dan guru dapat mengelola dan mengatur sekolah sendiri untuk mencapai mutu yang baik. Namun satu implikasi penting bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah

• Tujuan
1. Menjamin mutu pendidikan
2. Menjamin Keadilan
3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi
4. Meningkatkan akuntabilitas sekolah dan komitmen stake holder

• Elemen-elemen pokok :
1. Kepala sekolah
2. Guru (secara individual dan kolektif)

• Manfaat penerapan MBS :

1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.

4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Jadi dengan kata lain penerapan MBS memiliki banyak kebaikan karena dapat melatih stake holder untuk dapat mengelola sekolah dengan baik sehingga murid dapat belajar lebih efektif. Hal ini karena para stake holder lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh murid dibandingkan pemerintah. jadi dengan kata lain apa saja yang dibutuhkan murid untuk meningkatkan presetasinya dapat terpenuhi atau tepat sasaran.

• Syarat penerapan MBS
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
Jadi, penting sekali untuk dibuat kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah agar prosesnya dapat berjalan dengan baik, ada acuan untuk melaksanakan MBS tapi tidak melanggar norma yang berlaku dan diperoleh dukungan dari stake holder lainnya. Selain itu, pada awal tahap pelaksanaan MBS perlu diadakan pelatihan untuk memanage sekolah bagi seluruh satke holder agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam proses tersebut.


• Hambatan yang dihadapi stake holder
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1. Timbulnya rasa tidak berminat dan tidak ikut berpartisipasi dalam kegiataan memanage sekolah. Hal ini timbul karena sebagian stake holder merasa tidak berminat dan merasa malas untuk menambah tugasnya seperti merancang anggaran pendidikan. Akhirnya tidak semua dari para stake holder ikut berpartisipasi dalam memanage sekolah
2. Membuang – buang waktu dalam pengambilan keputusan (tidak efisien) serta munculnya pendapat dari kelompok kecil atau perseoranagn bukan hasil musyawarah seluruh stake holder.Hal ini karena dalam pengambilan keputusan kelompok dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai kesepakatan bersama dibandingkan keputusan sendiri. Hal ini karena banyak pemikiran dan banyak pendapat sehingga sangat sulit untuk memilih pendapat yang tepat. Dan biasanya karena merasa tidak enak dengan pendapat salah satu orang akhirnya anggota lain menyetujuinya dan timbullah hasil kesepakatan yang tidak real.
3. Memerlukan pelatihan. Untuk dapat memanage sekolah dengan baik dan maksimal maka diperlukan suatu pelatihan yang bertujuan agar para stake holde tidak kaget dan ampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam memanege sekolah.
4. Timbulnya kebingungan atas tanggung jawab baru.
Hal ini timbul karena para stake holder telah terbiasa untuk memanage sekolah seperti yang telah diatur oleh pemerintah. dan ketika mereka diberikan wewenng untuk memanage sekolah sendiri akhirnya timbul kebingunan dalam menjalankan tanggung jawabnya. Oleh karena itu pelatihan sangat diperlukan pada tahap awal pelaksanaan MBS.
5. Kesulitan dalam mengkoordinasi.
Memang setiap dalam memanage hal yang kompleks, mengatur orang banyak dan agar mencapai tujuan yang terbaik biasanya timbul masalah dalam mengkoordinasikannya. Namun hal ini dapat diminimalisir dengan adanya kerjasama yang baik antar para anggota, dan setiap anggota sudah menegrti atas tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.

Pengembangan Kompetensi SDM Kependidikan

Menurut UU no 14 tahun 2005 (UU dosen dan Guru), Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. Tenaga kependidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 dan pasal 39 adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Tenaga pendidikan bertugas melaksanakan pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pendidik merupakan tenagan professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembibingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutam bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Oleh karena itu, perlu diadakan pengembangan SDM untuk meningkatkan mutu pendidikan, dengan cara meningkatkan kompetensi dari SDM Kependidikan.

2) Dimensi-dimensi Kompetensi Guru

Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi Pedagogik

Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas(2004;9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran”. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar-mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar dan kemampuan melakukan penilaian..

a. Kompetensi Menyusun Rencana PembelajaranMenurut Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program belajar mengajar mencakup kemampuan:

(1) merencanakan pengorganisasian bahan-bahan pengajaran,

(2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar,

(3) merencanakan pengelolaan kelas,

(4) merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran; dan

(5) merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana pembelajaran meliputi
(1) mampu mendeskripsikan tujuan,
(2) mampu memilih materi,
(3) mampu mengorganisir materi,
(4) mampu menentukan metode/strategi pembelajaran,
(5) mampu menentukan sumber belajar/media/alat peraga pembelajaran,
(6) mampu menyusun perangkat penilaian,
(7) mampu menentukan teknik penilaian, dan
(8) mampu mengalokasikan waktu.

b. Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar

Yutmini (1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus di miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kemampuan:

(1) menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran,
(2) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan pengajaran,
(3) berkomunikasi dengan siswa,
(4) mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan
(5) melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.

c.Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar

Melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian tugas guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil belajar siswa.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penilaian belajar peserta didik, meliputi

(1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran,

(2) mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda,

(3) mampu memperbaiki soal yang tidak valid,

(4) mampu memeriksa jawab,

(5) mampu mengklasifikasi hasil-hasil penilaian,

(6) mampu mengolah dan menganalisis hasil penilaian,

(7) mampu membuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian,

(8) mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian,

(9) mampu mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian,

(10) mampu menyimpulkan dari hasil penilaian secara jelas dan logis,


(11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian,

(12) mengklasifikasi kemampuan siswa,

(13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian,

(14) mampu melaksanakan tindak lanjut,
(15) mampu mengevaluasi hasil tindak lanjut, dan

(16) mampu menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian.

Data Akademik

Nama : Yoshika Geanino
No. Reg : 3315081892
Jurusan : Kimia

Universitas Negeri Jakarta
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jurusan Kimia

Tugas Translating Artikel ProPen

Learning in Small Groups
Belajar dalam Kelompok Kecil

It is hard to exaggerate the interest in small-group learning in today's schools. Recognizing that students can learn by working with and helping each other, school districts, state departments of education, national research organizations, and curriculum specialists recommend, and even mandate, the use of peer-based learning. Teachers can choose from many commercially available guides and programs designed to help them plan, implement, and manage small-group learning. Whole schools have even been organized around students cooperating with each other as the primary mode of instruction. Under-girding these activities is a large body of research that shows the positive effects of small-group methods on student achievement, especially compared to other forms of instruction that involve less interaction between students (e.g., Slavin, 1995).
Sulit untuk membesar-besarkan kepentingan dalam kelompok kecil belajar di sekolah saat ini. Menyadari bahwa siswa dapat belajar dengan cara bekerja dan membantu satu sama lain, sekolah, departemen pendidikan, organisasi penelitian nasional, dan spesialis kurikulum merekomendasikan, dan bahkan memandatkan, penggunaan pembelajaran berbasis rekan sejawat. Guru dapat memilih dari banyak panduan yang tersedia secara komersial dan program yang dirancang untuk membantu mereka merencanakan, melaksanakan, dan mengelola pembelajaran kelompok kecil. Seluruh sekolah bahkan telah diorganisir siswa bekerja sama satu sama lain sebagai modus utama pengajaran. Dengan sandangan kegiatan ini adalah penelitian besar yang menunjukkan efek positif dari metode kelompok kecil pada prestasi siswa, terutama jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain dari instruksi yang kurang melibatkan interaksi antara siswa (misalnya, Slavin, 1995).

In spite of the potential for small-group work to foster student learning, most researchers agree that simply placing students in small groups does not guarantee that learning will occur. Rather, the extent to which students benefit from working with other students depends on the group dynamics and the nature of students' participation in group work. This chapter explores how group work is thought to benefit student learning and the many ways in which teachers might orchestrate small-group work to achieve those benefits. It does not catalog differences among small-group approaches, which often have such labels as cooperative learning, collaborative learning, peer tutoring, and peer-based or peer-directed learning, but considers all small-group contexts in which students are encouraged, expected, or required to work with each other to improve student learning.
Meskipun potensi kerja dalam kelompok kecil dapat mendorong siswa belajar, peneliti sebagian besar setuju bahwa hanya dengan menempatkan siswa dalam kelompok kecil tidak menjamin bahwa belajar akan terjadi. Sebaliknya, sejauh mana kebermanfaatan siswa saat bekerja dengan siswa lain, tergantung pada dinamika kelompok dan sifat partisipasi siswa dalam kerja kelompok. Bab ini mengeksplorasi bagaimana kerja kelompok diperkirakan bermanfaat dalam belajar siswa dan cara-cara guru dapat mengatur kerja kelompok kecil untuk mencapai tujuan. Katalog ini tidak termasuk pendekatan kelompok kecil, yang sering memiliki label seperti pembelajaran kooperatif, pembelajaran kolaboratif, peer tutoring, dan berbasis rekan atau pembelajaran dengan rekan, tetapi menganggap kelompok kecil yaitu siswa didorong, diharapkan, atau diperlukan untuk bekerja dengan satu sama lain untuk meningkatkan pembelajaran siswa.

Mechanisms for Learning From Peers
Mekanisme untuk Belajar Dari Rekan Sejawat
Piagetian Perspective
Piaget Perspektif
The view that cognitive conflict leads to higher levels of reasoning and learning derives principally from the work of Piaget (1932) and his followers. Cognitive conflict arises when a learner perceives a contradiction between her or his existing understanding and what the learner hears or sees in the course of interacting with others. This contradiction and its disequilibrating effect lead the learner to reexamine and question his or her own ideas and beliefs, to seek additional information in order to reconcile the conflicting viewpoints, and to try new ideas. Piaget suggested that exchanges with peers are more likely than exchanges with adults to promote children's cognitive development because children are likely to cooperate as equals, to speak at a level that other students understand, to challenge each other, and to share each other's point of view.
Pandangan bahwa konflik kognitif mengarah ke tingkat yang lebih tinggi dari penalaran dan belajar, berasal dari Piaget (1932) dan para pengikutnya. Konflik kognitif muncul ketika seorang pelajar merasakan kontradiksi antara dirinya atau pemahaman yang ada dan apa yang siswa dengar atau lihat saat berinteraksi dengan orang lain. Kontradiksi ini dan efek ketidak-seimbangannya membimbing pelajar untuk menguji kembali dan bertanya mengenai ide-ide dan keyakinannya sendiri, untuk mencari informasi tambahan dalam mencocokan sudut pandang yang bertentangan, dan untuk mencoba ide-ide baru. Piaget menyarankan bahwa pertukaran dengan rekan-rekan lebih cenderung pertukaran dengan orang dewasa untuk mempromosikan perkembangan kognitif anak, karena anak-anak cenderung bekerja sama, berbicara pada tingkat bahwa siswa lain memahami, menantang satu sama lain, dan berbagi cara pandang.

Numerous studies have examined the cognitive development of pairs of children working on conservation tasks that ask them to discuss whether some characteristics of objects (e.g., the volume of liquid) remain the same when others (e.g., the width or height of the container) change (De Lisi & Golbeck, 1999). When children who have not yet learned the principle of conservation are paired with children who have mastered it, the former often gain conservation knowledge whereas the latter rarely regress to giving incorrect responses. Students with and students without a knowledge of conservation have been shown to behave in different ways, with conservers asserting and justifying their answers, as well as producing counterarguments, and non-conservers restating their original responses without any elaboration. Even non-conservers working together progress when they hold conflicting, but still incorrect, ideas, but not when they hold the same incorrect conception.
Sejumlah penelitian telah meneliti perkembangan kognitif 2 pasangan anak yang bekerja pada tugas konservasi, dan meminta mereka untuk mendiskusikan beberapa karakteristik objek (misalnya, volume cairan) tetap sama, ketika yang lain berubah (misalnya, lebar atau tinggi wadah) (De Lisi & Golbeck, 1999). Ketika anak yang belum memahami prinsip konservasi dipasangkan dengan anak yang sudah menguasainya, sering mendapatkan pengetahuan dari yang sudah konservasi, sedangkan yang keduamemberikan respon yang salah. Siswa yang dengan dan siswa yang tanpa pengetahuan tentang konservasi telah ditunjukkan untuk berperilaku dengan cara yang berbeda, yaitu yang sudah konservasi menegaskan dan membenarkan jawaban mereka, sebisa mungkin membuat tanggapan yang sesuai, dan yang belum konservasi meberikan tanggapan asli mereka tanpa penjelasan apapun. Bahkan yang belum konservasi bekerja sama untuk memberikan perubahan ketika mereka terus bertentangan tapi masih dengan ide yang tidak benar, namun tidak saat mereka memegang konsepsi salah yang sama.

Vygotskian Perspective
Perspektif Vygotskian
Vygotsky (1978) posited that the benefits of collaboration occur when a more expert person helps a less expert person. With the help of a more skilled person, a process of negotiation and transformation enables the less competent person to carry out a task that the student could not perform without assistance, a process sometimes called scaffolding or guided participation. Through practice and intemalization, new skills and knowledge become part of the student's individual repertoire (Tudge, 1990).
Vygotsky (1978) mengemukakan bahwa manfaat dari kerja sama terjadi jika orang lebih ahli membantu orang yang kurang ahli. Dengan bantuan orang yang lebih terampil, proses negosiasi dan transformasi memungkinkan orang yang kurang kompeten untuk melaksanakan tugas yaitu siswa tidak bisa melakukan tanpa bantuan, suatu proses yang kadang-kadang disebut partisipasi perancah atau petunjuk. Melalui praktek dan intemalization, keterampilan baru dan pengetahuan menjadi bagian dari repertoar individu siswa (Tudge, 1990).

In peer-directed settings, students can often provide effective scaffolding and support due to their understanding of each other's misunderstandings and their ability to explain concepts in familiar terms (Noddings, 1985). Students may be especially able to provide each other assistance that is at the right level, rather than assistance that is beyond their teammates' understanding or assistance that is not necessary.
Dalam pengaturan rekan sejawat, siswa sering memberikan bantuan efektif dan dukungan karena pemahaman mereka tentang kesalahpahaman masing-masing dan kemampuan mereka untuk menjelaskan konsep dalam hal keakraban (Noddings, 1985). Siswa mungkin dapat memberikan setiap bantuan lain pada tingkat yang tepat, daripada bantuan yang berada di luar pemahaman rekan satu tim mereka atau bantuan yang tidak perlu.

Effective scaffolding requires several conditions. Help provided must be relevant to the less proficient student's need for help, and it must be timely, correct, comprehensible, and at the level of help needed. Further, students receiving help must have the opportunity to use explanations to solve the problem or carry out the tasks and must use that opportunity for practice by attempting to apply the explanations received to the problem at hand (Vedder, 1985). Students must both have and take advantage of the opportunity to apply the information contained in the explanation. Empirical studies of the relationship between these behaviors and achievement support the power of the latter conditions. Receiving explanations has sometimes been found to be more strongly related to achievement than is receiving less elaborated responses, such as the answer to a problem without suggestions about how to solve it, or receiving no help at all; however, a stronger predictor of learning outcomes is whether students use the help they receive to solve problems on their own without assistance (Webb & Palincsar, 1996). This relationship is consistent with the Vygotskian notion that the process of learning is more than simply the transfer of knowledge from expert to novice. This perspective holds that the active participation of the learner is critical; the more competent partner helps the less competent partner not only by informing, correcting, and explaining, but also by forcing the latter partner to explain (Tudge, 1990).
Bantuan yang efektif memerlukan beberapa kondisi. Bantuan yang diberikan harus relevan dengan kebutuhan siswa kurang mahir, dan harus tepat waktu, benar, dipahami, dan pada tingkat bantuan yang memang dibutuhkan. Selanjutnya, yang siswa menerima bantuan harus memiliki kesempatan untuk menggunakan penjelasan dalam memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dan harus menggunakan kesempatan itu untuk berlatih dengan mencoba dengan menerapkan penjelasan yang diterima untuk masalah yang dihadapi (Vedder, 1985). Keduanya harus mempunyai dan memanfaatkan kesempatan dalam menerapkan informasi dalam penjelasan. Studi empiris tentang hubungan antara perilaku dan mendukung pencapaian kekuatan kondisi terakhir. Menerima penjelasan kadang-kadang ditemukan dapat menjadi lebih kuat berhubungan dengan prestasi, daripada menerima tanggapan kurang diuraikan, seperti sebagai jawaban atas masalah tanpa saran tentang bagaimana mengatasinya, atau menerima bantuan sama sekali, namun, prediktor kuat dari hasil pembelajaran adalah apakah siswa menggunakan bantuan yang mereka terima untuk memecahkan masalah sendiri tanpa bantuan (Webb & Palincsar, 1996). Hubungan ini konsisten dengan gagasan Vygotskian bahwa proses belajar lebih dari sekedar transfer pengetahuan dari ahli untuk pemula. Perspektif ini menyatakan bahwa partisipasi aktif dari peserta didik sangat penting; mitra lebih kompeten membantu pasangan kurang kompeten tidak hanya dengan memberi informasi, memperbaiki, dan menjelaskan, tetapi juga dengan memaksa pasangan kedua untuk menjelaskan (Tudge, 1990).

Co-Construction of Knowledge
Asisten Pembangunan Pengetahuan
Students can also learn by co-constructing knowledge with their peers. Hatano (1993) showed how students can contribute different pieces of information or build upon others' explanations to jointly create a complete idea or solution. Researchers have documented how students can collabora-tively build knowledge and problem-solving strategies that no group member has at the start by acknowledging, clarifying, correcting, adding to, building upon, and connecting each other's ideas and suggestions (e.g., Hogan, Nastasi, & Pressley, 2000). Such interactions help children co-construct and internalize strategies and concepts in many areas including identifying chemicals in chemical reactions, understanding of place value, learning principles of transformational geometry, learning how to multiply whole numbers, and so forth.
Siswa juga dapat belajar dengan menjadi asisten dalam membangun pengetahuan dengan rekan-rekan mereka. Hatano (1993) menunjukkan bagaimana siswa dapat berkontribusi dalam potongan-potongan informasi yang berbeda atau membangun atas penjelasan orang lain untuk bersama-sama membuat gagasan lengkap atau solusi. Para peneliti telah mendokumentasikan bagaimana siswa dapat menggabungkan pembangunan pengetahuan dan strategi pemecahan masalah yaitu tidak ada anggota grup yang dimulai dengan mengakui, memperjelas, memperbaiki, menambah, bangunan atas, dan menghubungkan ide-ide masing-masing dan saran (misalnya, Hogan, Nastasi , & Pressley, 2000). Interaksi tersebut membantu siswa asisten membangun dan internalisasi strategi dan konsep di berbagai bidang termasuk mengidentifikasi bahan kimia dalam reaksi kimia, pemahaman nilai tempat, belajar prinsip-prinsip geometri transformasi, belajar bagaimana untuk memperbanyak bilangan bulat, dan sebagainya.

Co-construction requires a high degree of coordination among group members. Barron (2003) noted that highly coordinated groups acknowledge each other's ideas, repeat others' suggestions, and elaborate on others' proposals. Speakers' turns are tightly connected, with group members paying close attention to and responding to what other members do and say, giving space for others' contributions, and monitoring how the unfolding contributions relate to the problem-solving goal. Proposals are directly linked to the prior conversation and are acknowledged and discussed, not rejected or ignored. Interaction in such groups is marked by a high degree of joint attention and respect. According to Barron, highly coordinated groups simultaneously and successfully negotiate a dual-problem space consisting of a content space and a relational space.
Asisten konstruksi memerlukan koordinasi tingkat tinggi antara anggota kelompok. Barron (2003) mencatat bahwa tingginya koordinasi mengakui ide-ide kelompok masing-masing, mengulangi saran orang lain, dan menguraikan usulan orang lain. Pembicara ternyata terhubung erat, dengan anggota kelompok secara cermat, menanggapi apa yang anggota lain, memberi ruang untuk kontribusi orang lain, dan pemantauan bagaimana kontribusi berlangsung berhubungan dengan tujuan pemecahan masalah. Proposal secara langsung terkait dengan percakapan sebelumnya diakui dan dibahas, bukan ditolak atau diabaikan. Interaksi dalam kelompok-kelompok tersebut ditandai dengan tingkat tinggi perhatian bersama dan rasa hormat. Menurut Barron, kelompok yang sangat terkoordinasi secara simultan dan berhasil menegosiasikan dua masalah yang terdiri dari ruang konten dan ruang relasional.

Cognitive Elaboration Perspective
Elaborasi Perspektif Kognitif
From a cognitive elaboration perspective, interacting with others may encourage students to engage in cognitive restructuring, by which they restructure their own knowledge and understanding. This occurs when students elaborate on their thinking during conversations with others. Specifically, explaining the material to others may promote learning by encouraging students to rehearse information, reorganize and clarify material, recognize their own misconceptions, fill gaps in their own understanding, strengthen connections between new information and previously learned information, internalize and acquire new strategies and knowledge, and develop new perspectives and understanding (Bargh & Schul, 1980). In the process of formulating an explanation, students may think about the salient features of the problem and generate self-explanations that help them to internalize principles, construct specific inference rules for solving the problem, and repair imperfect mental models (Chi, 2000). This process may help them develop a better awareness of what they do and do not understand. In addition, tailoring explanations to the difficulties of other students may push helpers to construct more elaborate conceptualizations than they would otherwise. Giving non-elaborated help (such as the answer to a problem without any accompanying explanation of how to solve it), on the other hand, is expected to have fewer benefits because it may involve less cognitive restructuring by the helper.
Dari perspektif elaborasi kognitif, berinteraksi dengan orang lain dapat mendorong siswa untuk terlibat dalam restrukturisasi kognitif, dimana mereka merestrukturisasi pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Hal ini terjadi ketika siswa menguraikan pemikiran mereka selama percakapan dengan orang lain. Secara khusus, menjelaskan materi kepada orang lain dapat mempromosikan belajar dengan mendorong siswa untuk berlatih informasi, reorganisasi dan menjelaskan materi, mengakui kesalahpahaman mereka sendiri, mengisi kesenjangan dalam pemahaman mereka sendiri, memperkuat hubungan antara informasi baru dan informasi yang dipelajari sebelumnya, menginternalisasi dan mendapatkan strategi baru dan pengetahuan, dan mengembangkan perspektif baru dan pemahaman (Bargh & Schul, 1980). Dalam proses merumuskan penjelasan, siswa mungkin berpikir tentang fitur penting dari masalah dan menghasilkan penjelasan-diri yang membantu mereka untuk menginternalisasi prinsip-prinsip, membangun aturan inferensi khusus untuk memecahkan masalah, dan memperbaiki mental tidak sempurna (Chi, 2000). Proses ini dapat membantu mereka mengembangkan kesadaran yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan dan tidak mengerti. Selain itu, penjelasan menyesuaikan terhadap kesulitan siswa lain dapat mendorong pembantu untuk membangun konseptualisasi yang lebih rumit daripada seharusnya mereka. Memberikan bantuan tanpa diuraikan (seperti jawaban atas masalah tanpa penjelasan atas tentang bagaimana untuk memecahkan itu), di sisi lain, diharapkan memiliki manfaat lebih sedikit karena mungkin kurang melibatkan restrukturisasi kognitif oleh pembantu.

Research documents the strong relationship between giving explanations and achievement in small groups (Webb & Palincsar, 1996). Research on peer tutoring also demonstrates the effectiveness of giving explanations, with tutors who give more elaborate explanations (e.g., describing the relationship between the current problem and real-life examples; showing connections between ideas in the material being discussed) learning more than tutors who give less elaborate explanations (King, 1999).
Penelitian dokumen hubungan yang kuat antara memberi penjelasan dan prestasi dalam kelompok-kelompok kecil (Webb & Palincsar, 1996). Penelitian juga menunjukkan efektivitas pembelajaran rekan sejawat memberikan penjelasan, dengan tutor yang memberikan penjelasan lebih rumit (misalnya, menggambarkan hubungan antara masalah sekarang ini dan contoh-contoh kehidupan nyata; koneksi menunjukkan antara ide-ide dalam materi yang sedang dibahas) pembelajaran lebih dari tutor yang kurang memberikan penjelasan yang rumit (King, 1999).

The cognitive elaboration perspective is not necessarily independent of the Piagetian and Vygotskian perspectives, or of the co-construction model, but, instead, may be an integral part of them. In Piaget's model of sociocognitive conflict and learning, confronting others' contradictory ideas may involve explaining and justifying one's own position, with the potentially positive effects on learning described above. Similarly, the foregoing description of scaffolding in the Vygotskian perspective has already highlighted the active role that the less competent student plays. Specifically, explaining one's own thinking and understanding constitutes part of the process through which the less capable person constructs his or her knowledge. And during co-construction, students may justify their own ideas and elaborate on others' ideas, with new knowledge and understanding resulting.
Perspektif elaborasi kognitif tidak selalu independen dari perspektif Piaget dan Vygotskian, atau model asisten konstruksi, tetapi, sebaliknya, mungkin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mereka. Dalam model Piaget konflik social-kognitif dan belajar, menghadapi ide-ide kontradiktif lain mungkin melibatkan menjelaskan dan membenarkan posisi sendiri, dengan efek potensial positif terhadap pembelajaran yang dijelaskan di atas. Demikian pula, deskripsi atas perancah dalam perspektif Vygotskian telah menyoroti peran aktif yang kurang kompeten siswa bermain. Secara khusus, menjelaskan pemikiran sendiri dan pemahaman merupakan bagian dari proses melalui mana orang yang kurang mampu membangun pengetahuannya. Dan selama bersama-konstruksi, siswa dapat membenarkan ide-ide mereka sendiri dan menguraikan ide-ide orang lain, dengan pengetahuan baru dan pemahaman yang dihasilkan.

Motivational Perspective
Perspektif Motivasi
According to the motivational theory of Deutsch (1949), when groups work toward a common goal, students will praise, encourage, and support each other's contributions, resulting in more effort, a greater liking of the task and of other students. In a cooperative goal structure, group members can attain their own personal goals only if the group is successful. One way to create such a group goal is through the use of rewards or incentives. In Slavin's (1995) Student Teams Achievement Divisions (STAD), for example, teams work in a peer tutoring format to master information presented to the whole class and then take quizzes to assess individual achievement. Teams are rewarded based on the improvement of individuals in the team, thus holding both groups and individuals accountable. By making the team's success dependent on the individual learning of all members of the team, these group rewards ensure individual accountability and a feeling of personal responsibility for what happens in the group. This motivates students to work hard toward the group goal, to encourage others to do the same, and to help each other in order to ensure the group's success. These processes increase the chance of a favorable group outcome and consequently a reward for each group member.
Menurut teori motivasi Deutsch (1949), ketika kelompok-kelompok bekerja ke arah tujuan bersama, siswa akan memuji, mendorong, dan mendukung kontribusi satu sama lain, sehingga upaya lebih, lebih menyukai tugas dan siswa lainnya. Dalam struktur tujuan kooperatif, anggota kelompok dapat mencapai tujuan-tujuan pribadi mereka sendiri hanya jika kelompok itu berhasil. Salah satu cara untuk menciptakan suatu tujuan kelompok adalah melalui penggunaan hadiah atau insentif. Dalam Slavin's (1995) Prestasi Tim Mahasiswa Division (STAD), misalnya, tim bekerja di peer tutoring format untuk informasi master dipresentasikan kepada seluruh kelas dan kemudian mengambil kuis untuk menilai prestasi individu. Tim mendapat penghargaan berdasarkan peningkatan individu dalam tim, sehingga memegang kedua kelompok dan individu bertanggung jawab. Dengan membuat keberhasilan tim tergantung pada pembelajaran individu dari semua anggota tim, penghargaan ini kelompok memastikan akuntabilitas individual dan rasa tanggung jawab pribadi atas apa yang terjadi dalam kelompok. Ini memotivasi siswa untuk bekerja keras ke arah tujuan kelompok, mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama, dan untuk saling membantu dalam rangka untuk memastikan keberhasilan kelompok. Proses ini meningkatkan kemungkinan hasil yang menguntungkan kelompok dan akibatnya hadiah untuk setiap anggota kelompok.

The use of group rewards is not without controversy. Lepper (1983) posited that extrinsic rewards can undermine intrinsic motivation and interest in the classroom, and that students may begin to pay more attention to obtaining the reward than learning the material. Students may invest the least effort necessary to obtain rewards or may choose to perform less challenging tasks. Students may help each other only as the means to an external reward rather than valuing helping each other and learning for their own sakes. When groups fail to obtain the reward, students may feel dissatisfied with themselves or others or may blame low performers for the group's failure.
Penggunaan kelompok hadiah adalah bukan tanpa kontroversi. Lepper (1983) mengemukakan bahwa imbalan ekstrinsik dapat merusak motivasi intrinsik dan bunga di dalam kelas, dan bahwa siswa dapat mulai memberikan perhatian lebih untuk mendapatkan pahala dari materi pembelajaran. Siswa dapat berinvestasi setidaknya upaya yang diperlukan untuk memperoleh imbalan atau dapat memilih untuk melakukan tugas kurang menantang. Siswa dapat membantu satu sama lain hanya sebagai sarana untuk imbalan eksternal daripada menilai saling membantu dan belajar demi mereka sendiri. Ketika kelompok gagal untuk mendapatkan hadiah itu, siswa dapat merasa tidak puas dengan diri sendiri atau orang lain atau mungkin menyalahkan berkinerja rendah atas kegagalan kelompok.

Features of cooperative methods such as Slavin's STAD are intended to prevent these debilitating processes. To limit the focus on the reward, the incentive (e.g., a team certificate or mention in a classroom newsletter) is not designed to be highly desirable or to have high stakes. To ensure student effort, task difficulty is tailored to the capabilities of individual team members and no one is assigned overly difficult tasks. Finally, to reduce pressure on less capable group members, rewards are based on individuals' improvements in scores, not on their absolute performance. Cooperative learning methods that use both group rewards and individual accountability generally produce greater achievement than cooperative learning methods that include only one or neither of these components (Slavin, 1996).
Fitur metode koperasi seperti Slavin's STAD dimaksudkan untuk mencegah proses ini melemahkan. Untuk membatasi fokus pada hadiah itu, insentif yang (misalnya, sertifikat tim atau disebutkan dalam sebuah koran kelas) tidak dirancang agar sangat diinginkan atau memiliki taruhan tinggi. Untuk memastikan upaya siswa, kesulitan tugas yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anggota tim dan tak seorang pun yang ditugaskan tugas yang terlalu sulit. Akhirnya, untuk mengurangi tekanan terhadap anggota kelompok yang kurang mampu, penghargaan didasarkan pada perbaikan individu 'dalam nilai-nilai, bukan pada kinerja absolut mereka. Pembelajaran kooperatif metode yang menggunakan hadiah kelompok kedua dan tanggung jawab individu umumnya menghasilkan prestasi lebih besar dari metode pembelajaran kooperatif yang mencakup hanya satu atau tidak komponen ini (Slavin, 1996).





Social Cohesion Perspective
Kohesi Perspektif Sosial
Deutsch (1949) also described how students may be motivated to help each other because they care about the group and its members. To develop a sense of group identification and concern for others, a number of cooperative learning methods include team building and the development of social skills in order to build group cohesion instead of (or sometimes in addition to) using group rewards; this approach is the foundation of Johnson and Johnson's (1994) Learning Together. Team-building activities help team members to get to know each other and to experience success as a team. Social skills training focuses on interpersonal skills such as active listening, stating ideas freely, and accepting responsibility for one's behaviors, as well as small-group skills such as taking turns, sharing tasks, making decisions democratically, trying to understand others' perspectives, and clarifying differences (Gillies, 2004). Developing and using these skills helps group members to trust, accept, and support each other, to communicate accurately and effectively, and to resolve conflicts constructively.
Deutsch (1949) juga menggambarkan bagaimana siswa dapat termotivasi untuk saling membantu karena mereka peduli dengan kelompok dan anggotanya. Untuk mengembangkan rasa identifikasi kelompok dan kepedulian terhadap orang lain, sejumlah metode pembelajaran kooperatif termasuk membangun tim dan pengembangan keterampilan sosial dalam rangka membangun kesatuan kelompok, bukan (atau kadang-kadang selain) menggunakan kelompok manfaat, pendekatan ini adalah dasar dari Johnson dan Johnson (1994) Learning Together. Kegiatan pengembangan tim membantu anggota tim untuk saling mengenal dan mengalami kesuksesan sebagai sebuah tim. Keterampilan sosial pelatihan berfokus pada keterampilan interpersonal seperti mendengarkan aktif, menyatakan gagasan secara bebas, dan tanggung jawab penerima untuk perilaku seseorang, serta keterampilan kelompok kecil seperti bergiliran, berbagi tugas, membuat keputusan secara demokratis, mencoba memahami perspektif orang lain, dan memperjelas perbedaan (Gillies, 2004). Mengembangkan dan menggunakan keterampilan ini membantu anggota kelompok untuk percaya, menerima, dan saling mendukung, untuk berkomunikasi secara akurat dan efektif, dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.

Feedback on how well the group is functioning also helps to build cohesion. Discussing their group's interaction and how they might improve it (sometimes called group processing) helps groups to function more effectively. Having students share their thoughts and feelings about their own and their teammates' participation also helps groups to identify, understand, and solve general communication problems (disruptive or bullying behavior), provides positive reinforcement for student collaboration, and helps students to maintain good working relationships (Johnson & Johnson, 1994).
Tanggapan tentang seberapa baik kelompok berfungsi juga membantu membangun kesatuan. Membahas interaksi kelompok mereka dan bagaimana mereka bisa memperbaikinya (kadang-kadang disebut proses kelompok) membantu kelompok untuk berfungsi lebih efektif. Setelah siswa berbagi pikiran dan perasaan mereka tentang mereka sendiri dan partisipasi teman-teman mereka juga membantu kelompok untuk mengidentifikasi, memahami, dan memecahkan masalah komunikasi umum (mengganggu atau perilaku bullying), memberikan penguatan positif untuk kolaborasi siswa, dan membantu siswa untuk menjaga hubungan kerja yang baik (Johnson & Johnson, 1994).

Debilitating Processes
Proses melemahkan
Groups do not always function in ways that are optimal for learning. Researchers have documented a number of detrimental processes.
kelompok tidak selalu berfungsi dengan cara-cara yang optimal untuk belajar. Para peneliti telah mendokumentasikan sejumlah proses merugikan.

Unequal Participation
Partisipasi yang tidak setara
Individuals don't always have equal opportunities to participate in groups. Some members are much more active and influential than others. Personality characteristics may explain some effects such as extroverted, outgoing, and energetic members doing most of the talking. Status characteristics may also determine relative influence in the group (Cohen & Lotan, 1995). High-status students, especially those with high academic standing or peer status characteristics (perceived attractiveness or popularity), tend to be more active and influential than low-status individuals, while low-status individuals tend to be less assertive and more anxious, talk less, and give fewer suggestions and less information than high-status individuals. Social characteristics, such as gender or race, may also operate as status characteristics in heterogeneous small groups; boys and White students may be more active than girls and students of color.
Individu tidak selalu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kelompok. Beberapa anggota jauh lebih aktif dan berpengaruh daripada yang lain. karakteristik kepribadian dapat menjelaskan beberapa efek seperti terbuka, ramah, dan energik anggota melakukan banyak berbicara. Status karakteristik juga dapat menentukan pengaruh relatif pada kelompok (Cohen & Lotan, 1995). High-status mahasiswa, khususnya mereka yang berdiri akademis yang tinggi atau rekan karakteristik status (dianggap daya tarik atau popularitas), cenderung lebih aktif dan berpengaruh daripada individu rendah status, sedangkan rendah status individu cenderung menjadi kurang tegas dan lebih gelisah, bicara kurang, dan memberikan sedikit saran dan informasi kurang dari individu tinggi status. Karakteristik sosial, seperti jenis kelamin atau ras, juga dapat beroperasi sebagai karakteristik status dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, anak laki-laki dan siswa kulit putih mungkin lebih aktif daripada anak perempuan dan siswa dengan warna kulit lain.

Even artificially created status differences (such as classifying students' competence on the basis of fictitious test scores; Dembo & McAuliffe, 1987) can create imbalances in individual participation and influence.
Bahkan secara artificial, menciptakan perbedaan status (seperti mengelompokkan kompetensi siswa berdasarkan nilai tes fiktif; Dembo & McAuliffe, 1987) dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam partisipasi individu dan pengaruh.

Whereas some students may be shut out of interaction, other students may choose not to participate. Students may engage in social loafing, or diffusion of responsibility, which arises when one or more group members sit back and let others do the work, possibly because they believe that their efforts can't or won't be identified or are dispensable (Salomon & Globerson, 1989). This free-rider effect may turn into a sucker effect when the group members who complete all of the work discover that they had been taken for a free ride and start to contribute less to the group work in order to avoid being a sucker.
Sedangkan beberapa siswa dapat menutup dari interaksi, siswa lain mungkin memilih untuk tidak berpartisipasi. Siswa dapat terlibat dalam kemalasan sosial, atau difusi tanggung jawab, yang muncul ketika satu atau lebih anggota kelompok duduk kembali dan membiarkan orang lain melakukan pekerjaan itu, mungkin karena mereka percaya bahwa usaha mereka tidak dapat atau tidak akan diidentifikasi atau dibuang (Salomon & Globerson, 1989). Dampak penunngang bebas bisa berubah menjadi efek pengisap ketika anggota kelompok yang menyelesaikan semua pekerjaan menemukan bahwa mereka telah diambil untuk bebas menumpang dan kurang kontribusi kerja kelompok untuk menghindari kebodohan.

Students who choose not to be involved or who are excluded from group interaction will not experience the benefits of active participation described in the previous sections of this chapter. And the students who do participate will not benefit from the knowledge and perspectives of the passive students, and may even lead the group off track by pursuing the wrong task or suggesting incorrect solutions that are not challenged.
Siswa yang memilih untuk tidak terlibat atau yang dikecualikan dari interaksi kelompok tidak akan mengalami manfaat dari partisipasi aktif dijelaskan di bagian sebelumnya dari bab ini. Dan siswa yang berpartisipasi tidak akan mendapat manfaat dari pengetahuan dan perspektif siswa pasif, dan bahkan dapat memimpin kelompok keluar jalur dengan melakukan tugas yang salah atau menyarankan solusi salah yang tidak ditantang.

The goal of promoting the participation of all group members was the foundation of one of the earliest cooperative learning methods, jigsaw (Aronson, Blaney, Stephin, Sikes, & Snapp, 1978), which was designed to bring together students from different cultural backgrounds. In the jigsaw classroom, students are assigned responsibility for mastering a portion of the material, they meet to discuss that material with other students assigned the same topic, and then they return to their heterogeneous groups to teach their topic to the other members of their groups. Another early cooperative learning approach that also built in participation by all students is group investigation (Sharan & Hertz-Lazarowitz, 1980), in which students carry out research on their piece of a group project and then come together as a team to integrate their findings and plan a class presentation.
Tujuan dari mempromosikan partisipasi dari semua anggota kelompok adalah dasar dari salah satu metode pembelajaran kooperatif paling awal, jigsaw (Aronson, Blaney, Stephin, Sikes, & Snapp, 1978), yang dirancang untuk membawa bersama siswa dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam kelas jigsaw, siswa ditugaskan tanggung jawab untuk menguasai sebagian dari materi, mereka bertemu untuk mendiskusikan materi dengan siswa lain yang ditugaskan topik yang sama, dan kemudian mereka kembali ke kelompok heterogen mereka untuk mengajar topik mereka kepada anggota lain dari kelompok mereka . Pendekatan lain awal pembelajaran kooperatif yang juga dibangun dalam partisipasi oleh semua siswa adalah kelompok investigasi (Sharan & Hertz-Lazarowitz, 1980), dimana siswa melakukan penelitian di atas bagian mereka dari proyek kelompok dan kemudian datang bersama sebagai sebuah tim untuk mengintegrasikan temuan-temuan mereka dan rencana presentasi kelas.

Failure to Seek and Obtain Effective Help
Kegagalan untuk Mencari dan Mendapatkan Bantuan Efektif
Another set of debilitating processes concerns the failure of students to seek help when they need it and to obtain effective help when they seek it. Students who do not seek help may never correct their misconceptions. Students may fail to seek help for many reasons (Nelson-Le Gall, 1992). Students may lack the metacognitive skills necessary to monitor their own comprehension and so may not realize that they don't understand the material or can't perform the task without assistance, or they may watch their teammates solve a problem or accomplish a task and assume that they can do it too.
Suatu kekhawatiran yang melemahkan proses kegagalan siswa untuk mencari bantuan bila mereka membutuhkannya dan untuk memperoleh bantuan efektif bila mereka mencarinya. Siswa yang tidak mencari bantuan tidak pernah dapat memperbaiki kesalahpahaman mereka. Siswa mungkin gagal untuk mencari bantuan karena berbagai alasan (Nelson-Le Gall, 1992). Siswa mungkin kurang keterampilan metakognitif yang diperlukan untuk memantau pemahaman mereka sendiri sehingga tidak mungkin menyadari bahwa mereka tidak memahami materi atau tidak dapat melakukan tugas tanpa bantuan, atau mereka mungkin melihat rekan satu tim mereka memecahkan masalah atau menyelesaikan tugas dan mengasumsikan bahwa mereka dapat melakukannya juga.

Even if students are aware that they need help, they may decide not to seek it for fear of being judged incompetent and undesirable as a workmate, or they may not want to feel indebted to those giving the help (Newman, 1998). Or students may believe that help seeking is undesirable (as a result of classroom norms that call for students to remain quiet and work alone, or sex-typed norms that view help seeking as more appropriate for females than males) or they may have received antagonistic or unsatisfactory responses to previous help-seeking attempts. Students may also believe that no one in the group has the competence or resources to help, or that they themselves lack the competence to benefit from help provided.
Bahkan jika murid sadar bahwa mereka membutuhkan bantuan, mereka mungkin memutuskan untuk tidak mencari itu karena takut dinilai tidak kompeten dan tidak dikehendaki sebagai rekan kerja, atau mereka mungkin tidak ingin merasa berhutang budi kepada mereka yang memberikan bantuan (Newman, 1998). Atau siswa mungkin percaya bahwa membantu mencari tidak diinginkan (sebagai hasil dari norma-norma kelas yang panggilan bagi siswa untuk tetap tenang dan bekerja sendiri, atau jenis kelamin norma-norma yang melihat membantu mencari sebagai lebih tepat untuk wanita daripada pria) atau mereka mungkin telah menerima antagonis atau tidak memuaskan tanggapan untuk sebelumnya membantu mencari upaya. Siswa juga dapat percaya bahwa tidak ada satu dalam kelompok memiliki kompetensi atau sumber daya untuk membantu, atau bahwa mereka sendiri tidak memiliki kompetensi untuk manfaat dari bantuan yang diberikan.

When students seek help, they may select helpers who are nice or kind, or who have high status, rather than those who have task-relevant skills (Nelson-Le Gall, 1992). Students may not have effective strategies for eliciting help. In particular, the kinds of questions students ask often have important consequences for the kinds of responses they receive. Requests for help that are explicit, precise, direct, and targeted to a specific aspect of the problem or task are more likely to elicit explanations than unfocused questions or general statements of confusion. Asking precise questions makes it easier for other group members to identify the student's misconceptions or areas of confusion and to formulate effective help. General questions, in contrast, may signal a lack of ability, a lack of effort, or both. Students who appear to be loafing are typically less likely to receive help than those who appear to be working hard.
Ketika siswa mencari bantuan, mereka dapat memilih pembantu yang bagus atau jenis, atau yang memiliki status yang tinggi, bukan mereka yang memiliki keterampilan tugas-relevan (Nelson-Le Gall, 1992). Siswa mungkin tidak memiliki strategi efektif untuk eliciting bantuan. Secara khusus, jenis-jenis pertanyaan siswa bertanya sering memiliki konsekuensi penting bagi jenis-jenis tanggapan yang mereka terima. Permohonan bantuan yang eksplisit, tepat, langsung, dan ditargetkan untuk aspek tertentu dari masalah atau tugas lebih mungkin untuk mendapatkan penjelasan dari pertanyaan terfokus atau pernyataan umum kebingungan. Mengajukan pertanyaan yang tepat memudahkan anggota kelompok lainnya untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa atau bidang kebingungan dan membantu merumuskan efektif. Pertanyaan umum, sebaliknya, mungkin menandakan kurangnya kemampuan, kurangnya usaha, atau keduanya. Siswa yang tampak santai biasanya cenderung tidak menerima bantuan daripada mereka yang muncul untuk dapat bekerja keras.

Even if group members are willing to help, they may not have the skills to provide effective explanations. Help-givers may have misconceptions themselves, may not be able to translate their thinking into appropriate or understandable language, may not provide enough detail or detail relevant to the help-seeker's particular difficulty or level of understanding, or may not be able to identify the help-seeker's problem.
Bahkan jika anggota kelompok yang bersedia membantu, mereka mungkin tidak memiliki keterampilan untuk memberikan penjelasan yang efektif. Bantuan-pemberi mungkin memiliki kesalahpahaman sendiri, mungkin tidak mampu menerjemahkan pemikiran mereka ke dalam bahasa yang sesuai atau dimengerti, tidak dapat memberikan cukup detail atau detail relevan dengan kesulitan khususnya pencari bantuan atau tingkat pemahaman, atau mungkin tidak mampu mengidentifikasi bantuan-pencari masalah.

Finally, whether a student obtains help may depend on the group's composition and the student's relative position within that group. For example, in groups that are heterogeneous in terms of student proficiency, middle-ability students may be left out of a teacher-learner relationship that develops between high-ability and low-ability members of the group; whereas the same middle-ability students may participate more actively in homogeneous groups, especially with regard to receiving answers to their questions (Webb & Palincsar, 1996).
Akhirnya, siswa memperoleh bantuan mungkin tergantung pada komposisi kelompok dan posisi relatif siswa dalam kelompok tersebut. Misalnya, dalam kelompok yang heterogen dalam hal kemampuan siswa, kemampuan siswa menengah dapat dibiarkan keluar dari hubungan guru-peserta didik yang berkembang antara kemampuan tinggi dan rendah kemampuan anggota kelompok; sedangkan tengah-sama kemampuan siswa dapat berpartisipasi lebih aktif dalam kelompok-kelompok homogen, khususnya yang berkaitan dengan menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka (Webb & Palincsar, 1996).

Too Little or Too Much Cognitive Conflict
Terlalu Sedikit atau Terlalu Banyak Konflik Kognitif
Although students can learn by resolving discrepancies in ideas, too little or too much conflict can be detrimental (Bearison, Magzamen, & Filardo, 1986). Infrequent conflict may reflect suppression of disagreements, or pseudoconsensus or pseudoagreement, in which students minimize disagreements or pretend they don't exist. In these cases, incorrect ideas may go unchallenged. Too much conflict, on the other hand, may prevent group members from seeking new information to resolve their disagreements.

If they spend all of their time arguing (especially if their aim is to win the argument regardless if they are right or wrong), they may never develop new insights.
Meskipun siswa dapat belajar dengan cara menyelesaikan perbedaan dalam ide, terlalu sedikit atau terlalu banyak konflik dapat merugikan (Bearison, Magzamen, & Filardo, 1986). Jarangnya konflik mungkin mencerminkan penindasan terhadap perbedaan pendapat, atau kurangnya pendapat atau kurangnya persetujuan, dimana siswa meminimalkan perselisihan atau pura-pura tidak ada. Dalam kasus ini, ide-ide yang salah dapat disaingi. Terlalu banyak konflik, di sisi lain, dapat mencegah anggota kelompok dari mencari informasi baru untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Jika mereka menghabiskan semua waktu mereka berdebat (terutama jika tujuan mereka adalah untuk memenangkan argumen tidak peduli apakah mereka benar atau salah), mereka tidak pernah dapat mengembangkan wawasan baru.

Lack of Coordination
Kurangnya Koordinasi
Group functioning and individual learning may also suffer from a lack of coordination of group members' efforts and participation (Barron, 2003). Group progress may be inhibited by low levels of attention to and uptake of members' suggestions, even when those suggestions are correct and potentially productive. In incoherent conversations, students advocate and repeat their own positions and ideas, ignore others' suggestions, reject others' proposals without elaboration or justification, and interrupt others or talk over them. Such lack of coordination and joint attention may undermine all of the processes through which individuals can gain by collaborating with others, including resolving conflicts, co-constructing knowledge and understanding, participating in scaffolding, giving and receiving help, and engaging in cognitive elaboration.
Fungsi kelompok dan pembelajaran individu mungkin juga sulit dari kurangnya koordinasi upaya anggota kelompok dan partisipasi (Barron, 2003). Kemajuan kelompok mungkin akan terhambat oleh rendahnya tingkat perhatian dan pengambilan saran anggota, bahkan ketika saran orang yang benar dan berpotensi produktif. Dalam percakapan jelas, siswa advokat dan mengulangi posisi mereka sendiri dan ide, mengabaikan saran orang lain, menolak usulan orang lain tanpa penjelasan atau pembenaran, dan lain-lain mengganggu atau berbicara atas mereka. Seperti kurangnya koordinasi dan perhatian bersama dapat merusak semua proses melalui individu-individu dapat memperoleh dengan berkolaborasi dengan orang lain, termasuk penyelesaian konflik, asisten pembangun pengetahuan dan pemahaman, berpartisipasi dalam membantu, memberi dan menerima bantuan, dan terlibat dalam elaborasi kognitif.



Other Negative Socioemotional Processes
Proses Sosioemosional Negatif Lain
Other negative socioemotional processes, such as rudeness, hostility, and unresponsiveness, can also impede group members' participation, cause groups to reject correct ideas, and prevent groups from solving problems correctly (ChiĆ¹ & Khoo, 2003). Such processes can also suppress help seeking, especially when students are insulted when they seek help, receive sarcastic responses, or have their requests rejected or ignored. Students who carry out negative behavior may have their requests for help rejected. Even students who are knowledgeable may withhold information or refuse to provide help when insulted or taunted by others.
Lain proses sosioemosional negatif, seperti kekasaran, permusuhan, dan unresponsiveness, juga dapat menghambat partisipasi anggota kelompok, menyebabkan kelompok-kelompok untuk menolak ide-ide yang benar, dan mencegah kelompok dari pemecahan masalah dengan benar (Chiu & Khoo, 2003). Proses tersebut juga dapat menekan pencraian bantuan, terutama ketika siswa merasa terhina ketika mereka mencari bantuan, mendapat tanggapan sinis, atau permintaan mereka ditolak atau diabaikan. Siswa yang melakukan perilaku negatif mungkin permintaan mereka untuk membantu ditolak. Bahkan siswa yang memiliki pengetahuan dapat menahan informasi atau menolak untuk memberikan bantuan ketika dihina atau ejek oleh orang lain.


Approaches to Promoting Beneficial Group Processes
Pendekatan untuk Mempromosikan Kebermanfaatan Proses Kelompok
Researchers have designed a great variety of collaborative learning methods in order to promote beneficial group processes and inhibit detrimental group dynamics. Many, if not most, small-group approaches incorporate one or more of the components described here.
Para peneliti telah merancang berbagai macam metode pembelajaran kolaboratif untuk mempromosikan proses kelompok yang menguntungkan dan menghambat dinamika kelompok merugikan. Banyak, jika tidak sebagian besar, kelompok kecil pendekatan menggabungkan satu atau lebih komponen yang dijelaskan di sini.

Preparing Students for Collaborative Work
Mempersiapkan Siswa untuk Kerja Kolaborasi
Altering Expectations and Status Relationships
Mengubah Harapan dan Status Hubungan
To promote equal participation among students in heterogeneous (especially multiracial) groups, Cohen and Lotan (1995) developed methods of minimizing status effects by altering high-status students' expectations about low-status students' competence. In expectation training, low-status students receive special training on both academic and nonacademic tasks, and then teach high-status students how to do the tasks. All students then work on unrelated activities in their heterogeneous groups. The important feature of this training program is changing high-status students' perceptions about low-status students' competence. Increasing the competence of low-status students without also manipulating the high-status students' expectations of the low-status students' performance (as it is when the low-status students teach the high-status students) is not sufficient to change the usual pattern of high-status students' dominating group interactions. A less time-intensive approach is the multi-ability intervention, which raises students' awareness of the multiple skills necessary to do the task. The teacher discusses with students the multiple abilities needed to solve complex problems (e.g., visual thinking, intuitive thinking, and reasoning), and when groups work on these tasks the teacher comments on particular contributions of low-status students and identifies the importance and value of their contributions.
Untuk meningkatkan partisipasi yang setara antara siswa di heterogen (terutama multiras) kelompok, Cohen dan Lotan (1995) yang dikembangkan untuk meminimalkan efek status dengan mengubah harapan tinggi status siswa tentang kompetensi rendah status mahasiswa. Dalam pelatihan harapan, rendah status siswa menerima pelatihan khusus di kedua akademis dan non-akademik tugas, dan kemudian mengajar siswa bagaimana status tinggi untuk melakukan tugas. Semua siswa kemudian bekerja pada kegiatan yang tidak terkait dalam kelompok heterogen mereka. Fitur penting dari training ini adalah mengubah persepsi tinggi status siswa tentang kompetensi rendah status siswa. Meningkatkan kompetensi siswa rendah status tanpa juga memanipulasi harapan para siswa tinggi status 'kinerja siswa rendah status' (seperti yang ketika siswa rendah status mengajar para siswa tinggi status) tidak cukup untuk mengubah biasa pola interaksi mendominasi tinggi status siswa kelompok. Pendekatan waktu kurang intensif adalah intervensi multi-kemampuan, yang meningkatkan kesadaran siswa tentang beberapa keterampilan yang diperlukan untuk melakukan tugasnya. Ini membahas guru dengan siswa beberapa kemampuan diperlukan untuk memecahkan masalah yang kompleks (misalnya, berpikir visual, berpikir intuitif, dan penalaran), dan ketika kelompok-kelompok kerja pada tugas-tugas ini komentar guru pada kontribusi tertentu pelajar rendah status dan mengidentifikasi pentingnya dan nilai kontribusi mereka.

All of these programs have shown success in reducing the relationship between status (based on language background, race, socioeconomic status, or academic ability, for example) and behavior in small groups. The more frequently teachers talk about the multiple abilities needed for a task (and emphasize that no one has all of the abilities) and comment on the value of low-status students' contributions, the greater the participation rate of low-status students and the smaller the gap between high-status and low-status students' participation rates.
Semua program ini telah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi hubungan antara status (berdasarkan latar belakang, ras bahasa, status sosial ekonomi, atau kemampuan akademik, misalnya) dan perilaku dalam kelompok-kelompok kecil. Semakin sering guru berbicara tentang beberapa kemampuan diperlukan untuk tugas (dan menekankan bahwa tidak ada yang memiliki semua kemampuan) dan mengomentari nilai kontribusi rendah status siswa, semakin besar tingkat partisipasi siswa rendah status dan kecil kesenjangan antara status tinggi dan rendah status tingkat partisipasi siswa.

Instruction in Explaining and Group Reasoning Skills
Instruksi dalam Keterampilan Menjelaskan dan Penalaran Grup
Many studies have incorporated instruction in academic helping and explaining behaviors (e.g., Gillies, 2004). Students are taught help-seeking and help-giving skills, such as asking clear and precise questions, giving explanations instead of answers, justifying their views, checking for understanding, checking others' answers, challenging others, and giving specific feedback on how teammates solve the problem. Compared to untrained groups, trained groups exhibit more explaining and often higher achievement.
Banyak penelitian telah memasukkan instruksi diakademik membantu dan menjelaskan perilaku (misalnya, Gillies, 2004). Siswa diajar membantu mencari dan membantu memberi ketrampilan, seperti mengajukan pertanyaan yang jelas dan tepat, memberikan penjelasan bukannya jawaban, membenarkan pandangan mereka, memeriksa untuk memahami, memeriksa jawaban orang lain, menantang orang lain, dan memberikan umpan balik yang spesifik tentang bagaimana mengatasi rekan masalah. Dibandingkan dengan kelompok tidak terlatih, kelompok dilatih lebih menjelaskan dan menunjukkan prestasi sering kali lebih tinggi.

Structuring Group Interaction
Penataan Interaksi Kelompok
Some small-group approaches structure group interaction in specific ways or implement activities to guide groups' cooperation. Features of these methods include requiring groups to carry out certain strategies or activities, assigning students certain roles to play, or both.
Beberapa kelompok kecil struktur pendekatan kelompok interaksi dengan cara tertentu atau melaksanakan kegiatan kerjasama kelompok untuk memandu. Fitur dari metode ini termasuk yang membutuhkan kelompok untuk melaksanakan strategi tertentu atau aktivitas yang menempatkan peran siswa tertentu untuk bermain, atau keduanya.


Reciprocal Teaching
Pengajaran timbal balik
In teacher scaffolded instruction, referred to as reciprocal teaching, teachers help students carry out certain strategies designed to improve comprehension of text: generating questions about the text they have read, clarifying what they don't understand, summarizing the text, and generating predictions (Palincsar & Brown, 1984). Teachers initially take the leadership by explaining the strategies and modeling their use in making sense of the text. Then teachers ask students to demonstrate the strategies, but give them considerable support. For example, in order to help a student generate questions to ask groupmates, the teacher might probe what information the student gleaned from the text and help the student phrase a specific question using that information. The teacher gradually assumes the less active role of coach, giving students feedback and encouraging them. Students then carry out the text comprehension strategies in their small groups. With this method, students show considerable gains in reading comprehension and sometimes greater progress than with other cooperative learning approaches or in instruction without peer interaction.
Dalam bantuannya instruksi guru, disebut sebagai timbal-balik mengajar, guru membantu siswa melaksanakan strategi tertentu yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman teks: menghasilkan pertanyaan tentang teks mereka telah membaca, menjelaskan apa yang mereka tidak mengerti, meringkas teks, dan menghasilkan prediksi ( Palincsar & Brown, 1984). Guru awalnya mengambil kepemimpinan dengan menjelaskan strategi dan pemodelan menggunakan mereka dalam membuat rasa teks. Lalu guru meminta siswa untuk menunjukkan strategi, tetapi memberikan dukungan yang cukup. Misalnya, untuk membantu siswa menghasilkan pertanyaan untuk meminta teman kelompok, guru bisa menduga informasi apa siswa dikumpulkan dari teks dan membantu siswa frase pertanyaan spesifik menggunakan informasi tersebut. Guru secara bertahap kurang mengasumsikan peran aktif pelatih, memberikan umpan balik siswa dan mendorong mereka. Siswa kemudian melaksanakan strategi pemahaman teks dalam kelompok kecil mereka. Dengan metode ini, siswa menunjukkan keuntungan yang cukup besar dalam pemahaman membaca dan kadang-kadang kemajuan yang lebih besar daripada dengan lain pendekatan pembelajaran kooperatif atau dalam instruksi tanpa interaksi rekan sejawat.

Explanation Prompts
Penjelasan Anjuran
Some peer learning approaches give students specific prompts to encourage them to give elaborated explanations. Students may be prompted to describe what happens in science experiments, to find patterns in their results, to explain why results occur, to justify answers or opinions, or to connect real-world experiences to classroom learning. Such explanation prompts have successfully produced conceptually advanced explaining as well as more complete and deeper understanding of the material.
Beberapa rekan memberikan pendekatan belajar siswa yang spesifik petunjuk untuk mendorong mereka untuk memberikan penjelasan diuraikan. Siswa akan diminta untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam percobaan sains, untuk mencari pola dalam hasil mereka, untuk menjelaskan mengapa hasil yang terjadi, untuk membenarkan jawaban atau pendapat, atau untuk menghubungkan pengalaman di dunia nyata untuk kelas belajar. penjelasan tersebut telah berhasil memproduksi mendorong maju menjelaskan secara konseptual serta lebih lengkap dan pemahaman yang lebih mendalam tentang materi.

Guided Reciprocal Questioning
Dipandu Timbal Balik Bertanya
In guided reciprocal questioning, students ask each other high-level questions about the material. These questions are intended to help students monitor their own and each other's comprehension and to encourage students to describe and elaborate on their thinking. Students may be given “how” and “why” question stems to guide their discussions of text, for example, Why is … important? How are … and … similar (King, 1992, p. 113)? Or students may be given questions to help them co-construct and explain strategies for solving problems, such as What is the problem? What do we know about the problem so far? What information is given to us? and What is our plan (King, 1999, p. 101)? Groups' use of these high-level questions increases the frequency of elaborated explaining and produces greater learning than individuals using such questions outside of a collaborative context or engaging in group discussions without such question prompts.
Dalam pemanduan tanya timbal balik, siswa bertanya setiap tingkat tinggi pertanyaan lain tentang materi. Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk membantu siswa memantau mereka sendiri dan saling pemahaman dan untuk mendorong siswa untuk menggambarkan dan menguraikan pemikiran mereka. Siswa dapat diberikan "bagaimana" dan "mengapa" pertanyaan batang untuk memandu diskusi mereka teks, misalnya, Mengapa ... penting? Bagaimana ... dan ... serupa (King, 1992, hal 113)? Atau siswa dapat diberikan pertanyaan untuk membantu mereka bersama-membangun dan menjelaskan strategi untuk memecahkan masalah, seperti Apa masalahnya? Apa yang kita ketahui tentang masalah sejauh ini? Informasi apa yang diberikan kepada kita? dan Apa rencana kami (King, 1999, hal 101)? menggunakan Grup 'dari pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi meningkatkan frekuensi diuraikan menjelaskan dan menghasilkan belajar yang lebih besar daripada individu menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu di luar dari konteks kolaboratif atau terlibat dalam diskusi kelompok tanpa pertanyaan seperti anjuran.

Structured Controversy
Kontroversi Terstruktur
In order to promote the benefits that arise when students try to resolve conflicting ideas, Johnson and Johnson (1995) built controversy into the group's task by subdividing groups into teams and requiring the teams to master material on different sides of an issue (e.g., should there be more or fewer regulations governing hazardous waste disposal). Then groups presented their views to the other team and synthesized the two positions. Compared to groups required to seek concurrence by working cooperatively and compromising, groups required to discuss opposing ideas often carried out more high-level discussion of the material and less description of the facts and information; they also attained higher achievement.
Dalam rangka mempromosikan manfaat yang muncul ketika mahasiswa mencoba untuk menyelesaikan ide-ide yang saling bertentangan, Johnson dan Johnson (1995) kontroversi dibangun ke tugas kelompok oleh pengelompokan kelompok ke dalam tim dan membutuhkan tim untuk menguasai materi pada sisi yang berbeda dari sebuah isu (misalnya, harus akan ada peraturan lebih atau lebih sedikit yang mengatur pembuangan limbah berbahaya). Kemudian kelompok disajikan pandangan mereka ke tim lain dan disintesis dua posisi. Dibandingkan dengan kelompok-kelompok diminta untuk mencari persetujuan dengan bekerja secara kooperatif dan kompromi, kelompok diminta untuk mendiskusikan ide-ide yang berlawanan lebih sering dilakukan diskusi tingkat tinggi material dan kurang deskripsi fakta-fakta dan informasi; mereka juga mencapai prestasi lebih tinggi.

Cognitive Role Specialization
Spesialisasi Peran Kognitif
To facilitate high-level discourse and learning in groups, a number of approaches give students specific roles to play (usually alternated or rotated) in which they carry out specific cognitive activities. Students may be assigned such roles as recaller (also called learning leader or summarizer) and listener (also called active listener, learning listener, or listener/facilitator) that can be incorporated into scripts for groups to follow. The recaller summarizes the material and the listener is responsible for detecting errors, identifying omissions, and seeking clarification. Students then work together to elaborate on the material; they change roles for the next part of the task. Scripted cooperation usually produces greater student achievement than unstructured cooperation, as a result of students' explicit use of elaboration (O'Donnell, 1999). These scripts may be even more productive when students teach each other different material than when students have studied the same material; students may be less likely to worry about how others will evaluate their summaries, and may be less likely to make inferences about what others are saying and more likely to ask them to clarify their summaries.
Untuk memfasilitasi wacana tingkat tinggi dan belajar dalam kelompok, sejumlah pendekatan memberikan siswa peran sendiri (biasanya bergantian atau dirotasi) di mana mereka melakukan aktivitas kognitif tertentu. Siswa dapat diberikan peran seperti penghubung ulang (juga disebut pembelajaran pemimpin atau Shvoong) dan pendengar (juga disebut pendengar aktif, belajar pendengar, atau pendengar / fasilitator) yang dapat dimasukkan ke dalam naskah untuk kelompok-kelompok untuk mengikuti. Penghubung ulang ini ikhtisar materi dan pendengar bertanggung jawab untuk mendeteksi kesalahan, mengidentifikasi kelalaian, dan mencari klarifikasi. Siswa kemudian bekerja sama untuk menguraikan bahan; mereka mengubah peran untuk bagian selanjutnya dari tugas. Kerjasama tersusun biasanya menghasilkan prestasi siswa lebih besar dari kerjasama tidak terstruktur, sebagai akibat dari penggunaan eksplisit siswa elaborasi (O'Donnell, 1999). Susunan ini dapat menjadi lebih produktif ketika siswa mengajar tiap bahan berbeda, bukan ketika siswa telah mempelajari materi yang sama; siswa mungkin kurang cenderung khawatir tentang bagaimana orang lain akan mengevaluasi ringkasan mereka, dan mungkin kurang cenderung untuk membuat kesimpulan mengenai apa yang orang lain katakan dan lebih mungkin untuk meminta mereka untuk mengklarifikasi ringkasan mereka.

In reciprocal peer tutoring, students receive training in how to model strategies such as summarizing text and in how to give explanations, corrections, and feedback about other students' work. They then alternate tutor and tutee roles during pair work. Some approaches pair more skilled and less skilled learners, whereas others pair students randomly or pair those with similar proficiency. Special attention is often paid to promoting high-level discourse during paired discussions, such as training tutors to give highly elaborated conceptual rather than algorithmic explanations to their partners (e.g., using real-life examples, discussing why an answer does or does not make sense; Fuchs et al., 1997). Reflecting the importance of the activity of the help-receiver, some peer tutoring models guide the tutor in helping the tutee to give high-level explanations (King, 1999). The tutor asks questions designed to encourage the tutee to provide explanations of the material, asks further questions to push the tutee to elaborate upon or justify their explanations as well as to correct incomplete or incorrect explanations, and asks questions to push tutees to make connections among ideas and to link new material to their prior knowledge. Observations of tutor-tutee discussions show that these strategies for increasing the level of pair discourse are usually highly successful with corresponding positive effects on achievement.
Dalam pembelajaran rekan timbal balik, siswa menerima pelatihan dalam bagaimana model strategi seperti meringkas teks dan bagaimana untuk memberikan penjelasan, koreksi, dan masukan tentang karya siswa lain. Mereka tutor kemudian alternatif dan peran asisten tutor selama kerja berpasangan. Beberapa pendekatan pasangan lebih terampil dan kurang terampil peserta didik, sementara yang lain pasangan siswa secara acak atau pasangan mereka dengan kemampuan yang sama. Perhatian khusus sering dibayar untuk mempromosikan tinggi tingkat pembicaraan selama diskusi dipasangkan, seperti pelatihan guru untuk memberikan yang diuraikan konseptual bukan penjelasan algoritma untuk pasangan mereka (misalnya, dengan menggunakan contoh kehidupan nyata, mendiskusikan mengapa jawaban tidak atau tidak masuk akal ; Fuchs et al, 1997.). Mencerminkan pentingnya kegiatan-penerima bantuan, beberapa model pembelajaran rekan panduan guru dalam membantu asisten tutor untuk memberikan penjelasan tingkat tinggi (King, 1999). Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk mendorong asisten tutor untuk memberikan penjelasan materi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut untuk mendorong tutee untuk menguraikan atas atau membenarkan penjelasan mereka dan juga untuk mengoreksi penjelasan lengkap atau tidak benar, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendorong asisten tutor membuat sambungan antara ide-ide dan untuk menghubungkan materi baru untuk pengetahuan awal mereka. Pengamatan diskusi tutor-asisten tutor menunjukkan bahwa strategi untuk meningkatkan tingkat wacana pasangan biasanya sangat sukses dengan efek positif yang terkait pada pencapaian.

Manipulating the Group-Work Task
Memanipulasi Tugas Kerja Kelompok
To maximize the participation of all group members, Cohen (1994) recommended that groups be given complex tasks or open-ended problems without clear-cut answers or procedures that cannot be completed very well by a single individual and that require the combined expertise of everyone in the group. Such tasks encourage groups to recognize the multiple skills and perspectives needed to complete the task and to value the different contributions that each student makes. Tasks or problems that can be completed by one student with the requisite skills, on the other hand, are more likely to limit the participation of students without those skills.
Untuk memaksimalkan partisipasi dari semua anggota kelompok, Cohen (1994) merekomendasikan bahwa kelompok-kelompok diberikan tugas kompleks atau terbuka masalah tanpa jawaban yang jelas atau prosedur yang tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh individu yang tunggal dan yang membutuhkan keahlian gabungan semua orang dalam kelompok. tugas tersebut mendorong kelompok untuk mengenali beberapa keterampilan dan perspektif yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan nilai kontribusi yang berbeda yang membuat setiap siswa. Tugas atau masalah yang dapat diselesaikan oleh satu siswa dengan keterampilan yang diperlukan, di lain pihak, lebih mungkin untuk membatasi partisipasi siswa tanpa keterampilan.

The Teacher's Role
Peran Guru
Developing Classroom Goal Structures and Norms
Mengembangkan Struktur Kelas dan Tujuan Norma
The teacher can play an important role by working with students to mutually construct norms for how students should engage with each other during group work. The teacher can monitor and intervene in small-group dialogues in order to remind students about their obligations (e.g., to make sure that everyone participates, to describe their interpretations of problems and solutions, to share their thinking and solution methods with others, to justify their own answers, and to challenge each other's solutions) and to make specific suggestions for how students should behave in particular circumstances (e.g., stop another student and ask for help, be sure that everyone understands each other's problem-solving strategies; Yackel, Cobb, & Wood, 1991). The teacher can discuss with the whole class expected small-group behaviors and can use specific, as well as hypothetical, situations to initiate discussions with the class about students' responsibilities in collaborative work and to show examples of genuine dialogue between students.
Guru dapat memainkan peran penting dengan bekerja sama dengan siswa untuk saling membangun norma-norma tentang bagaimana siswa harus terlibat satu sama lain selama kerja kelompok. Guru dapat memonitor dan campur tangan dalam dialog-dialog kelompok kecil untuk mengingatkan siswa tentang kewajiban mereka (misalnya, untuk memastikan bahwa semua orang berpartisipasi, untuk menggambarkan interpretasi mereka akan masalah dan solusi, untuk berbagi pemikiran dan solusi metode dengan orang lain, untuk membenarkan jawaban mereka sendiri, dan untuk menantang solusi masing-masing) dan untuk membuat saran spesifik untuk bagaimana siswa harus bersikap dalam keadaan tertentu (misalnya, berhenti siswa lain dan meminta bantuan, pastikan bahwa setiap orang memahami strategi masing-masing pemecahan masalah; Yackel, Cobb , & Wood, 1991). Guru dapat berdiskusi dengan seluruh kelas diharapkan perilaku kelompok kecil dan dapat penggunaan khusus, serta hipotetis, situasi untuk memulai diskusi dengan kelas tentang tanggung jawab siswa dalam kerja kolaboratif dan menunjukkan contoh dialog asli antara siswa.

Modeling Desired Discourse
Model Wacana Diinginkan
Teachers also communicate their expectations for students' behavior through their own behavior. Two recent studies showed how students' behavior mirrored the very different styles of teacher interaction with those students. In one study in which teachers received little specific instruction in how to engage with students around the instructional material, the teachers tended to give unla-beled calculations, procedures, or answers instead of labeled explanations; they often instructed using a recitation approach in which they assumed the primary responsibility for solving the problem, having students only provide answers to discrete steps, and they rarely encouraged students to verbalize their thinking or to ask questions (Webb, Nemer, & Ing, 2006). In their cooperative groups, students adopting the role of help-giver showed behavior very similar to that of their teachers: doing most of the work, providing mostly low-level help, and infrequently monitoring other students' level of understanding. Students needing help did not use effective help-seeking skills nor did they often persist in seeking help, which reflected the expectations communicated by the teacher about the learner as a fairly passive recipient of the teacher's transmitted knowledge. In another study, the teachers were trained to use specific skills to challenge students' thinking and to scaffold their learning (e.g., asking questions that probed or attempted to clarify student thinking, challenging discrepancies in students' ideas, offering suggestions tentatively instead of directing students to follow certain procedures or strategies; Gillies, 2004). In these small groups, the students mirrored their teachers' behaviors (e.g., attempting to relate new information to ideas previously discussed).
Guru juga mengkomunikasikan harapan-harapan perilaku siswa melalui perilaku mereka sendiri. Dua studi terbaru menunjukkan bagaimana perilaku siswa mencerminkan gaya yang sangat berbeda dari interaksi guru dengan para siswa. Dalam sebuah penelitian dimana guru menerima sedikit instruksi spesifik dalam cara untuk terlibat dengan siswa di sekitar materi pembelajaran, guru-guru cenderung untuk memberikan perhitungan unla-beled, prosedur, atau jawaban bukan penjelasan berlabel; mereka sering diinstruksikan menggunakan pendekatan pembacaan di mana mereka mengemban tanggung jawab utama untuk memecahkan masalah, karena siswa hanya menyediakan jawaban untuk langkah-langkah terpisah, dan mereka jarang mendorong siswa untuk berpikir dengan kata-kata atau untuk mengajukan pertanyaan (Webb, Nemer, & Ing, 2006). Dalam kelompok kooperatif mereka, siswa mengadopsi peran-pemberi bantuan menunjukkan perilaku yang sangat mirip dengan guru-guru mereka: melakukan sebagian besar pekerjaan, memberikan sebagian besar bantuan tingkat rendah, dan jarang pemantauan tingkat siswa lainnya pemahaman. Siswa membutuhkan bantuan tidak menggunakan efektif membantu mencari keterampilan juga tidak sering bertahan dalam mencari petunjuk, yang mencerminkan harapan yang disampaikan oleh para guru tentang pembelajar sebagai penerima pasif cukup pengetahuan ditransmisikan guru. Dalam studi lain, para guru dilatih untuk menggunakan keterampilan khusus untuk menantang cara berpikir siswa dan untuk perancah belajar mereka (misalnya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang diselidiki atau berusaha untuk mengklarifikasi pemikiran siswa, menantang perbedaan dalam ide-ide siswa, menawarkan saran hati-hati, bukan mengarahkan siswa untuk mengikuti prosedur tertentu atau strategi; Gillies, 2004). Dalam kelompok-kelompok kecil, siswa cermin perilaku guru mereka (misalnya, mencoba untuk menghubungkan informasi baru untuk ide-ide yang telah dijelaskan sebelumnya).

Conclusion
Kesimpulan
The past several decades have produced a great deal of research investigating how and when students learn in small groups, as well as how small-group work might be orchestrated to produce desired learning outcomes. Moving considerably beyond characterizations of early research as “black box” in nature (Bossert, 1988–1989), research in this area has uncovered much information about the medi-ational processes that promote as well as inhibit learning in small groups.
Beberapa dekade terakhir telah menghasilkan banyak penelitian yang menyelidiki bagaimana dan kapan siswa belajar dalam kelompok kecil, dan juga bagaimana kerja kelompok kecil mungkin diatur untuk menghasilkan hasil pembelajaran yang diinginkan. Bergerak jauh melampaui Karakterisasi penelitian awal sebagai "kotak hitam" di alam (Bossert, 1988-1989), penelitian di bidang ini telah menemukan banyak informasi tentang proses-obat yang ational yang mempromosikan serta menghambat belajar dalam kelompok kecil.

Despite considerable progress in the field, however, there are a number of topics that need more attention. First, not enough is known about the role of student characteristics (e.g., ability, gender, cultural or racial background, personality) in group functioning to make recommendations to teachers about how to compose small groups. This issue is further complicated because the same student may behave and have quite different experiences in different groups; there is still debate about which characteristic(s) are most salient to groups when group members differ on multiple characteristics simultaneously. Second, although working in groups has positive effects on interpersonal attitudes and liking of the task (Solomon, Watson, Schaps, Battistich, & Solomon, 1990), little is known about whether the processes that promote these outcomes are consonant with those that promote learning. Third is the possible incompatibility of different goals of group work, such as individual learning versus group productivity. For example, depending on the nature of the task, processes that benefit individual students' learning may impede group productivity, such as when producing a high-quality group product is best and most efficiently accomplished when only the most skilled students contribute (Webb, 1995). How to balance these competing aims needs further study. Fourth, with the explosion of interest in online communication comes the natural question of whether collaborating with others in a remote environment functions similarly to the face-to-face group dynamics considered in this chapter. There is much interest in computer-mediated communication (Lou, Abrami, & d'Apollonia, 2001), but researchers have only recently begun to systematically study the issues of learning within this context.
Meskipun kemajuan di lapangan, ada beberapa topik yang perlu perhatian lebih. Pertama, tidak cukup diketahui tentang peran karakteristik siswa (misalnya, kemampuan, status kelamin, budaya atau latar belakang ras, kepribadian) pada kelompok yang berfungsi untuk membuat rekomendasi kepada guru tentang bagaimana menyusun kelompok-kelompok kecil. Masalah ini lebih rumit karena siswa yang sama dapat berperilaku dan memiliki pengalaman yang berbeda dalam kelompok-kelompok yang berbeda, masih ada perdebatan tentang yang karakteristik yang paling penting untuk kelompok ketika anggota kelompok berbeda pada beberapa karakteristik secara simultan. Kedua, meskipun bekerja dalam kelompok memiliki efek positif pada sikap interpersonal dan menyukai tugas (Solomon, Watson, Schaps, Battistich, & Solomon, 1990), sedikit yang diketahui tentang apakah proses yang mempromosikan hasil-hasil yang sejalan dengan mereka yang mempromosikan belajar . Ketiga adalah kemungkinan ketidakcocokan tujuan yang berbeda dari kerja kelompok, seperti belajar individu versus produktivitas kelompok. Sebagai contoh, tergantung pada sifat tugas, proses pembelajaran yang bermanfaat bagi individu siswa dapat menghambat produktivitas kelompok, seperti ketika memproduksi sebuah produk berkualitas tinggi kelompok yang terbaik dan paling efisien dicapai bila hanya siswa paling terampil berkontribusi (Webb, 1995 ). Bagaimana untuk menyeimbangkan ini bertujuan bersaing memerlukan penelitian lebih lanjut. Keempat, dengan ledakan kepentingan dalam komunikasi sejalan muncul pertanyaan apakah alam berkolaborasi dengan orang lain dalam lingkungan yang jauh fungsi yang sama dengan dinamika kelompok tatap muka dipertimbangkan dalam bab ini. Ada banyak minat pada komunikasi komputer-mediated (Lou, Abrami, & d'Apollonia, 2001), namun para peneliti hanya baru mulai secara sistematis mempelajari masalah belajar dalam konteks ini.

Finally, there is a pressing need for more research on how to help teachers implement small-group learning in ways that fit their own classroom needs (O'Donnell & O'Kelly, 1994). Given the relentless demands on teachers and their time, a major challenge is how to enable teachers to create classroom learning environments that encourage beneficial small-group work, to prepare their students to interact collaboratively, to create small-group structures and tasks that are most appropriate for their own classrooms, to monitor and evaluate groups' progress, and to facilitate students' interaction with each other in ways that benefit all of their students.
Akhirnya, ada kebutuhan mendesak untuk penelitian lebih lanjut tentang cara untuk membantu guru melaksanakan kelompok kecil belajar dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan kelas mereka sendiri (O'Donnell & O'Kelly, 1994). Mengingat tuntutan tiada henti pada guru dan waktu mereka, tantangan utama adalah bagaimana memungkinkan guru untuk menciptakan lingkungan belajar kelas yang mendorong kerja menguntungkan kelompok kecil, untuk mempersiapkan siswa mereka untuk berinteraksi bersama-sama, untuk menciptakan struktur kelompok kecil dan tugas yang paling cocok untuk kelas mereka sendiri, untuk memonitor dan mengevaluasi kemajuan kelompok, dan untuk memfasilitasi interaksi siswa satu sama lain dengan cara yang bermanfaat bagi semua siswa.
-Noreen M. Webb
Bacaan lebih lanjut
________________________________________
Entry Citation:
Webb, Noreen M. "Learning in Small Groups." 21st Century Education: A Reference Handbook. 2008. SAGE Publications. 23 Apr. 2010. .